Jumat, September 06, 2013
LANGIT SORE YANG SEDANG MENUJU SENJA






Dear mesin waktu, apa kabarmu? Semoga kamu baik-baik saja. Coba tebak, saya sedang sibuk apa sekarang? Ya, masih tetap seperti dulu. Saya masih tetap bandel, yang masih menomor duakan kuliah. Hmmp.. saya sedang mengerjakan project yang berangkat dari keisengan saya. Sebuah project yang nantinya akan saya susun di sebuah alamat situs pribadi saya. Tentu kamu sudah tau, selain disini saya selingkuh dengan alamat situs lain, ya, kisahlangitsore.tumblr.com. disitulah saya mencurahkan sebagian cerita saya. Namun bedanya disana saya mencurahkan cerita saya dengan foto.

Nah sudah menangkap isi dari cerita saya kali ini? yak, betoooll… saya sedang mengerjakan sebuah project yang nantinya akan selalu di posting di kisahlangitsore.tumblr.com. nama projectnya saya beri nama: KISAH LANGIT SORE. Atau kalau di twitter saya biasanya memakai hashtag: #kisahlangitsore.

Awalnya saya amat menyukai langit sore ketika senja. Pasti saja ada senda gurau bersama teman-teman, atau sekedar mengobrol masa lalu ke masa depan. Atau entah harus menggombal apalagi dengan gebetan hehe… dari situlah muncul ide, bahwa suatu hari saya ingin mengangkat cerita-cerita yang saya alami ketika sore tiba. Dan saya rasa, setiap manusia juga mengalaminya.

Manusia memang tidak pernah puas, saya hanya ingin berkarya sebaik mungkin. Dengan cara seperti inilah saya mencurahkan luapan ide-ide saya. Selama ini orang hanya tau sore adalah bagian dari proses alam dari siang menuju malam. Namun sebagian orang lagi belum menikmati sore dengan cerita-cerita yang ada. Yang mungkin, seseorang tersebut pernah mengalaminya namun tidak disimpan dengan baik. Toh bagi saya ini bisa dijadikan sebuah cerita. Ya, sebuah cerita dari langit sore. Yang kita alami pada waktu sore hari.

Saya harus berterimakasih pada langit sore yang selalu menghadirkan senjanya yang tak pernah usang. Juga pada segelas kopi dan rokok yang menemani saya menikmati sore. Entah kenapa, saya selalu suka langit sore dengan senjanya yang tak pernah usang ataupun baru. Juga pada seseorang yang sebaiknya saya tidak tulis disini yang katanya selalu suka senja :)
Dan dia adalah inspirasi dari semuanya ini. saya memang sedang sial.

Menurut saya, imajinasi bisa datang kapan saja, kayak hadiah. dengan melihat langit dan ekspresi berbagai manusia menjadi tidak sama seperti kemarin, contohnya. Juga apapun yang kita lihat. Kita rasain. Kita bicarain. Dan kita dengar. Semuanya adalah inspirasi yang menggabungi imajinasi saya kali ini.

Jadi, saya melukiskan Kisah Langit Sore dengan foto dan tulisan deskripsi didalamnya. Tujuannya apa? Tujuannya adalah supaya tidak lupa bahwa hal kecil bisa menjadi sebuah cerita yang sebaiknya saya rekam dan tak dilupakan. Ya, saya hanya ingin bercerita. Saya ingin menunjukan hal-hal yang sederhana pun itu bisa menjadi hal-hal yang istimewa bila kita memaknainya dengan cara yang berbeda yang lebih mendalam. Maka dari itu, rasakanlah setiap moment yang kamu alami di kehidupan ini. Nikmatilah waktu bersama orang-orang disekitarmu sebelum ia meninggalkanmu.

Karena menurut saya, langit sore selalu menyimpan sebuah kisah yang harusnya diceritakan kembali dan harusnya disimpan dalam bentuk kenangan berupa foto. Seharusnya selamanya...

blog-indonesia.com
Jumat, Juni 14, 2013
Filosofi Air Sungai 3

Ternyata air sungai itu kini sudah dibeli oleh orang lain, oleh salah satu orang yang membangun rumah di sekitarnya. Harganya pun mahal, puluhan hingga sampai ratusan juta. tidak, berjuta-juta kalau menurut saya.

Bukan harus pergi
Bukan harus mengusir mereka-mereka
Bukan harus merawat air sungai itu

Saya pun tidak harus pergi, karena mereka mengizinkan saya untuk tetap tinggal disana. Seorang diri. Mungkin, mereka akan menertawakan saya nantinya. Mungkin, mereka akan berubah terhadap saya nanti. Atau mungkin, mereka malah membenci saya.

Saya juga tidak harus mengusir mereka. Karena mereka memilih untuk menetap disana. mereka tidak bisa diganggu gugat.

Dan saya tidak harus merawat air sungai itu karena sekarang pemilik dari sungai itu yang mengurusnya. Memanjakannya. Membuat bendungan di pelatarannya.

Tidak hanya itu. Saya melihat sungai itu kini airnya sudah tenang. Kini di sisi-sisinya dibangun dinding-dinding pembatas antara perumahan dan sungai itu. Dibangun jembatan untuk penyebrang. Catnya warna merah. Dengan bunga mawar di sisi jalannya. Dan kita bisa melihat indahnya dunia dari sana. Gondola-gondola banyak bertebaran di sungai itu karena konon katanya kalau sehabis hujan ada pelangi di antara sungai itu, indah. Hutan bakau yang tadinya ada kini sudah ditebang semua. Berganti dengan suasana kota yang terlihat hectic. Dia sudah menjadi miliknya.

Sebelumnya, saya sempat menata sungai itu agar terlihat indah, agar kelak dia bermuara dengan tenang. Saya beri dia bunga-bunga agar kelak bermekaran dengan indah di sebelah sisi-sisinya. Berwarna merah cerah. Tidak mengatas namakan apa-apa, saya ingin membuatnya hijau dengan kemerah-merahan oleh bunga-bunga yang ada disisi-sisinya.

Namun karena sesuatu, dan saya pun baru saja menatanya. Seorang kaya miliuner datang membangun rumah, dan melihat sungai itu, dan akhirnya di beli. Dia sudah menjadi miliknya.

Lalu saya tidak boleh pergi dari kota ini. membiarkan saya hidup diantara tawa mereka. Saya seperti seorang pecundang. Namun saya berani diadu, cinta dan kasih saya untuk sungai itu bisa melebihi sang miliuner.

Kini apa yang harus saya lakukan? Terjebak dalam kota yang hectic juga sungai yang sudah menjadi miliknya. Saya hanya bisa berjalan tanpa tujuan.

Ternyata jalan masih panjang, di kota itu saya bertemu dengan seseorang yang ternyata kini menjadi teman. Dia menasehati saya “hey, don’t give up! Coba kamu tata kehidupan kamu sendiri, kalau sudah di tata pelan-pelan, kelak masa depan akan kamu genggam dan kamu bisa beli sungai itu atau sekalian kamu beli seluruh isi kota ini. biarkan orang lain menertawakanmu, karena kelak kamu yang akan beli tawa mereka”

Dia juga memberitahukan ada rumah yang pernah kau singgah disana sebelumnya yang mungkin itu adalah tujuan saya selama ini. mungkin rumah itu kini sudah benar-benar terawat. Ada taman di pekarangannya. Catnya tidak mudah luntur. Gerbangnya tinggi sampai rumah itu tidak terlihat.

Namun dia berkata, rumah itu hampir tidak terawat. Taman yang cantik sebelumnya sebagian sudah digerogoti oleh tikus-tikus tanah. Catnya mudah luntur namun selalu di cat ulang. Gerbangnya memang masih tinggi sampai sekarang. Rumah itu kemungkinan akan di jual.

Mungkin saya harus menemui rumah itu. Mungkin saya harus menyeberangi sungai ini dan pergi ke kota sebelah. Rumah itu seperti susunan puzzle. Selama saya hidup, kepingan-kepingan puzzle itu seperti menemukan saya. Atau saya selalu menemukan kepingan-kepingan puzzle itu. Saya harus menyusun kepingan-kepingan puzzle itu hingga menjadi rumah yang utuh.

Mungkin, rumah itu adalah tujuan saya hidup selama ini. dan untuk sementara, nikmatilah lara.
blog-indonesia.com
Sabtu, Juni 08, 2013
Filosofi Air Sungai 2

Kini air sungai itu benar-benar deras. Dia mampu membawa saya ke hulu dengan jurang yang curam. Dia mampu mengkeruhkan apa saja. Dia mampu membuat saya basah kuyup tak karuan, kedinginan. Bahkan dia mampu menghanyutkan siapa saja yang berada di arusnya. Dia benar-benar deras.

Mungkin karena sedang musim hujan, jadinya airnya deras. Mungkin karena sedang musim hujan, jadinya airnya dingin. Mungkin karena sedang musim hujan, jadinya airnya keruh. Mungkin karena sedang musim hujan, dia bisa saja tiba-tiba mengamuk.

Kini sulit sekali memprediksi aliran air sungai ini. hutan-hutan di sekililingnya tetap bersahabat, namun tiba-tiba kini bertambah liar. Saya takut. Sejujurnya.

Di sekitar air sungai itu, kini tumbuh rumput-rumput liar. Hutan-hutan bakaunya kini menjadi lebih mengerikan dibandingkan kemarin. Orang-orang yang berada dipinggirannya kini jadi lebih sering menetap, membangun perkemahan, mendirikan tenda sambil memasak apa saja yang bisa di masak untuk dimakan, bahkan diantaranya mendirikan rumah.

Kini si air sungai ini berubah menjadi sangat ramai. Sedangkan saya, hanya orang sendirian diantara kerumunan. Air sungai kini bisa jauh dari rasa nyaman saya.

Apakah kini saya harus pergi?
Apakah kini saya harus mengusir mereka-mereka?
Apakah kini saya harus merawat air sungai itu?
Apakah kini…

Ah sudahlah pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dijawab dengan saya sendiri.

Tapi kalau anda mau menjawab pertanyaan tersebut, mari kita misalkan saja…

Kalau saya harus pergi, air sungai itu tak pernah lagi jadi manfaat bagi saya. Tidak, tidak, mungkin saya hanya bisa mengenang bagaimana pertamakalinya saya menemukan air sungai itu. Orang-orang disana akan mendirikan rumah lebih banyak lagi, dengan tembok-tembok yang membatasi ruang atau mungkin juga akan membatasi air sungai itu. Rumput-rumput liar akan semakin tumbuh membentuk ilalang-ilalang yang semakin liar dan tinggi. Air sungai itu jadi tidak terawat, terkesan kumuh.

Atau mungkin begini, air sungai itu akan semakin dijaga dan dilestarikan oleh orang-orang disekitarnya. Mempercantik air sungai tersebut dengan hiasan-hiasan, mengadakan pameran, dijadikan tempat pariwisata. Rumput-rumput liar disekitarnya tentu selalu dibersihkan. Dan saya rasa, airnya akan tenang. Ya walaupun saya tau, tidak ada lagi hutan belantara di sekitarnya.

Mari kita jawab pertanyaan berikutnya, jangan dulu yang kedua, tapi yang ketiga dulu saja…

Kalau saya harus merawat air sungai itu, maka saya akan tampak bodoh. Ingat, jaman sekarang mana ada orang yang mau merawat air sungai tanpa di gaji? Atau merawat air sungai sendirian sedangkan orang-orang disekitarnya terus membangun rumah, terus mengotori air sungai itu, terus-terusan tergerus oleh suasana modern. Menurut saya, modern adalah perkembangan dari yang tadinya tradisional menjadi tidak lagi alami. Dan saya benci itu. Meskipun saya bukan orang yang apatis.

Namun sekali lagi, pikirkan… apa saya mampu sendirian mengurusi air sungai tersebut? Memperjuangkan apa yang seharusnya bukan kewajiban saya memperjuangkannya?

Jadi mari kita jawab yang kedua…

Apakah saya harus mengusir mereka? Jika saat ini saya mampu, mungkin hanya keajaiban yang bisa. Arus kota ternyata lebih tajam dibandingkan arus sungai tadi. Dan saya, kini sedang bertahan dalam arus kota tersebut, saya melihat arus sungai masih saja deras. Saya hanya bisa diam.

Kenapa saya hanya bisa diam? Kata mereka saya berperilaku tidak mengenakan bagi air sungai tersebut. Kata mereka, segera akan menemukan keindahan kelak, mungkin bukan di air sungai ini. mungkin disuatu tempat. Dan kesedihanmu akan terbayar lunas ketika kamu berjalan.

Itu kata mereka…

Pilihannya… saya berjalan menyusuri sungai ini sambil terus bertahan di arus kota yang cepat dan mungkin akan tenang ketika kita menikmatinya. Saya berjalan meninggalkan air sungai ini juga dari kehidupan arus kota yang mungkin nanti tidak cocok dengan saya. Atau mungkin, saya memilih untuk berjalan menyebrangi air sungai ini, kalau begitu diantaranya saya bisa saja membangun jembatan atau menunggu seseorang membangun jembatan untuk keseberang?

Bagaimanapun juga, yang saya hadapi kini adalah air sungai yang arusnya deras, keruh, juga dingin. Lalu, saya yang hanya berharap ini akan segera berakhir. Tapi, kapan? Lagi-lagi hanya waktu. Semuanya dimenangkan oleh waktu. Tidak ada yang bisa mengalahkan waktu. Karena yang tidak diam dengan kita hanya waktu.
blog-indonesia.com